Monday, 9 August 2010

Review Film Vantage Point



"Penonton akan mengerti jika menontonnya secara utuh dan tidak terpotong-potong. Intinya, film ini adalah sebuah cerita utuh, namun diceritakan dengan delapan sudut pandang berbeda". dari pernyataan Barry Levy, script writer film Vantage Point ini, kita bisa tahu kalau film ini menceritakan suatu peristiwa yang disampaikan dengan delapan pandangan yang berbeda.

Film yang disutradarai Pete Travis ini saya tonton ulang untuk kedua kalinya karena saat pertama kali menonton sempat terputus sampai tiga kali karena nontonnya disekolah. Baru setelah nonton yang kedua dan menonton trailernya diyoutube, saya dapat cukup mengerti inti film ini. Film ini menceritakan peristiwa saat Presiden AS, Henry Ashton, yang sedang berbicara dalam acara puncak penolakan teroris disebuah taman terbuka di kota Salamanca, Spanyol tiba-tiba tertembak. Sebenarnya, setting ini bukan benar-benar berada di Spanyol, berkat kerja Denise Camargo, yang mendesain dekorasinya, setting yang dibuat di Mexico ini dapat diubah menjadi kota Salamanca dengan sangat baik. Karena Plaza Mayor merupakan tempat yang cukup luas, pengambilan gambarnya banyak menggunakan camera angle yaitu Bird Eye View, jadi kita bisa liat seluruh objek yang ada didalam dan sekitar plaza mayor dari kejauhan dan diambil dari atas, mungkin dari sebuah helikopter.

Sudut pandang pertama merupakan sudut pandang dari Rex Brooks (Siguorney Weaver), produser berita yang melihat kronologi tertembaknya presiden Ashton melalui kamera-kameranya, tetapi masih ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang si penembak ketika Thomas Barnes datang dan minta melihat rekaman mereka. Aktingnya menurut saya kurang begitu mengesankan, mungkin karena perannya tidak terlalu banyak, hanya diawal-awal film. Lalu ada efek me-rewind dengan cepat dari yang Rex lihat, sampai pada awal cerita, ketika presiden baru akan berangkat. Lalu mulailah sudut pandang orang lain.

Yang kedua adalah sudut pandang dari seorang Thomas Barnes, secret service yang disewa presiden. Ketika baru sampai di Plaza Mayor, ada efek hitam putih dan slow motion saat ia me-rewind ingatannya ketika tahun lalu tertembak waktu mengawal presiden Ashton, makanya banyak yang kaget melihat kembalinya Barnes. Banyak juga extreme close up yang digunakan ketika ia memasukkan senjata kedalam kantongnya, dan saat berkomunikasi dengan handsfree. Beberapa saat setelahnya presiden Ashton tertembak, Barnes menduga tembakan berasal dari kiri atas dari ruangah tadi karena dia melihat kilatan cahaya. Beberapa saat setelahnya, sebuah bom meledak. Ketika ia baru bangun setelah bom meledak, efek slow motion dan buram serta kabut membuat settingnya terlihat seperti telah terjadi bom yang sangat dahsyat. Lalu ia mendatangi produksi tv Rex dan melihat rekaman mereka. Dengan banyak pengambilan gambar slow motion, kita dapat melihat bahwa ia kaget saat mengetahui seorang temannya telah menghianatinya, Kent Taylor (Mathew Fox) karena ketika sedang meneleponnya, ternyata Kent sudah berganti pakaian dan bersenjata, Barnespun mengejarnya setelah tahu bahwa dia berada dipihak berbeda. Saya sangat menyukai akting Dennis Quaid yang profesional dan sangat mendalami perannya sebagai secret service yang handal.

Ada pula sudut pandang dari Enrique, yang mengaku sebagai seorang polisi lokal. Ketika presiden tertembak ia langsung berlari keatas stadium, perhatian para secret servicepun seketika langsung tertuju padanya dan mengira ia ada kaitannya dengan pembunuhan ini. Ketika melihat Veronika melempar tas berisi bom kebawah stadium, kamera dengan close up terfokus pada raut mukanya yang panik, dan langsung mengatakan apa yang sedang terjadi. Tetapi karena tidak ada yang percaya pada omongannya, ia pun berlari menjauhi tempat tersebut, sempat tertabrak mobil, ia pun tetap berlari dengan sigap, hingga akhirnya dapat mengalihkan polisi yang mengejarnya dan berhenti dibawah jembatan. Cara camera bergerak mengikuti Enrique berlari cukup halus dan fokus, tidak terlalu banyak gerakan. Ia memainkan perannya dengan cukup mengesankan, sayapun terbawa suasana ketika ia sedang berlari dikejar.

Pandangan yang ke-empat berasal dari Howard Lewis (Forest Whitaker), seorang turis Amerika yang selalu sibuk merekam dengan handycamnya. Saat baru sampai di Plaza Mayor ekspresi senangnya dapat kita lihat dengan jelas ketika mukanya dishoot secara close up. Lewis telah merekam banyak kejadian penting seperti saat Veronika melempar bom kebawah stadium, dan saat Enrique dikejar sampai ia berhenti dibawah jembatan, dan menyadari bahwa Enrique ternyata benar-benar merupakan seorang polisi. Forest Whitaker cukup baik dalam aktingnya, yang saya sukai adalah mukanya yang sangat ekspresif. Selanjutnya adalah sudut pandang presiden Ashton, yang tertembak saat baru saja mulai berbicara diatas podium. Banyak cara ia dishoot seperti extreme close up, high angle dan longshot.

Mungkin dengan mengulang-ulang adegan bom dan penembakan presiden setiap kali berubah sudut pandang sedikit membuat kita bosan, tapi dengan mengetahui sudut pandang kedelapan orang ini, kita bisa tahu kebenaran yang terselubung. Ada sudut pandang Javier yang merupakan seseorang yang disuruh untuk memberikan presiden ketangan Veronika, yang terpaksa ia lakukan agar adiknya tidak dibunuh, tetapi pada akhirnya tetapi dibunuh oleh teman sekongkolan Veronika. Saat berpapasan dengan Enrique ada efek slow motion. Dan ketika ia menerima kunci dari doorman hotel Vesta, tempat dimana presiden Ashton berada, dishoot dengan extreme close up untuk memperjelas. Ada juga pandangan Kent Taylor yang awalnya merupakan teman Thomas Barnes dan sama-sama bekerja untuk presiden. Saat ia mengganti kostumnya dari suit formil menjadi pakaian polisi, terdapat efek hitam putih. Lalu ia pergi dengan Javier dalam mobil polisi, yang dikejar-kejar oleh Barnes sampai akhirnya ia tertembak mati. Dari sini kita dapat mengambil hikmah bahwa orang yang berpihak kepada kejahatan walaupun sembunyi-sembunyi pasti akan ketahuan. Lalu ada juga pandangan penjahat yang memegang andil besar dalam penembakan Potus, nama lain presiden. Dialah yang menyalakan fan dengan gadgetnya, dia juga yang menembak presiden dengan gadget tersebut (atau orang yang saat itu menjadi presiden) karena setelah ia menembak, di hotel terdapat presiden yang asli.

Editing yang baik dan peranan sutradara yang professional dapat membuat kita merasa menjadi bagan dari cerita ini, dan bagi saya, penggarapan film ini menghasilkan film yang sangat enak ditonton dan mampu membuat para penonton hanyut dalam film, seperti yang saya rasakan. Pengambilan gambar sangat profesional, banyak digunakan extreme close up untuk memperjelas hal-hal penting, dan efek khusus yang ditimbulkan cukup baik.